Kematian Tan Malaka dan Darurat Perang Jenderal Sudirman
ZULHASRIL NASIR
Membaca
artikel Sabam Siagian, ”Tentang Tan Malaka” (Kompas, 12/7) yang
menanggapi tulisan saya, ”Tan Malaka dan Kebangkitan Nasional” (Kompas,
7/07), ada hal-hal yang ingin dikesankan mantan Dubes RI untuk Australia
itu.
Pertama,
politik diplomasi Syahrir seolah tak bermasalah bagi TNI dan pejuang
sehingga kombinasi politik diplomasi dan pertahanan disimpulkan telah
melahirkan Indonesia merdeka.
Kedua,
negara memiliki legitimasi mengeksekusi Tan Malaka atas nama keadaan
darurat perang guna ”memikul wibawa penuh Panglima Besar Letjen
Sudirman”.
Dwitunggal
Adam
Malik dalam buku Mengabdi Republik menyatakan, dwitunggal tidak hanya
satu pasang—Soekarno-Hatta—tetapi ada dua pasang lagi: Sjahrir-Amir
Sjarifuddin dan Tan Malaka-Sudirman.. Saya ulas pasangan ketiga, Tan
Malaka-Sudirman.
Bagi
Tan Malaka, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah harga mati.
Kompromi para pemimpin politik menghadapi Belanda adalah naif dan
melelahkan. Maka, Tan Malaka bersama 139 organisasi (Masyumi, PNI,
Parindra, PSI, PKI, Front Rakyat, PSII, tentara, dan unsur laskar)
menggelar Kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto, 4-5 Januari 1946.
Sudirman hadir sebagai unsur tentara.
Setelah
mempelajari gagasan Tan Malaka, kongres yang dilanjutkan di Solo, 15-16
Januari, dengan 141 organisasi mengesahkan rancangan Tan Malaka yang
disebut ”Minimum Program”.
Program
itu untuk mengatasi aneka masalah, seperti pertentangan antara pimpinan
negara dan pemuda/rakyat, konflik antarpejuang, dan sikap Inggris yang
mengakui kedaulatan Belanda di Indonesia. Sebutlah itu konsolidasi para
pejuang. Kehadiran Sudirman dalam kongres itu adalah poin utama hubungan
politik Tan Malaka-Sudirman. Tan Malaka mencatat ucapan Sudirman saat
itu, ”Lebih baik kita di atom daripada merdeka kurang dari 100 persen.”
Sudirman
dikenal tegas, melindungi anak buah, dan tidak kenal kompromi.
Ketidaksetujuannya pada diplomasi tergambar pada sikap tetap bergerilya
daripada menyerah meski kesehatan Sudirman sakit parah. Sikap menyerah
Soekarno dan Hatta kepada Belanda oleh sebagian orang dinilai cara
taktis menghadapi diplomasi internasional. Namun, itulah yang membedakan
kedua pasang pemimpin itu. Bagi Tan Malaka, kemerdekaan adalah 100
persen dan bagi Sudirman ”tentara tidak kenal menyerah”.
Bagi
keduanya, tidak ada lagi penjajahan Belanda dengan segala siasatnya.
Perundingan adalah siasat Belanda seperti terjadi dalam hasil Perjanjian
Linggarjati dan Renville. Dan Belanda tetap menekan pemerintah dengan
Agresi Militer I (13 Juli 1947) dan II (18 Desember 1948). Akibatnya,
TNI harus hijrah dari satu tempat ke tempat lain, meninggalkan kantong
pertahanan, yang amat menjengkelkan Sudirman.
Saat
di pemerintahan pengungsian Yogyakarta muncul kemelut antarpemimpin,
saat itu juga terjadi penangkapan terhadap kelompok Persatuan Perjuangan
dan Barisan Banteng yang dilakukan Pesindo (kelompok Syahrir) pada 17
Maret dan 16 Mei 1946. Hubungan dwitunggal itu berlanjut saat Sudirman
menugaskan Mayjen Sudarsono membebaskan tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan
dan Barisan Banteng: Tan Malaka, Adam Malik, Chairul Saleh, Muwardi,
Abikusno, M Yamin, Sukarni, dan lainnya. Semua dibebaskan. Atas perintah
lisan Sudirman, Mayjen Sudarsono menangkap Sutan Sjahrir dan dilepaskan
1 Juli 1946 karena campur tangan Soekarno.
Tuduhan
kudeta lalu diarahkan ke kelompok Tan Malaka saat terjadi peristiwa 3
Juli 1946, di mana Mayjen Sudarsono mendatangi Soekarno-Hatta di Yogya,
mendesak agar memecat Syahrir. Soekarno-Hatta menolak dan Amir
Syarifuddin (Menteri Pertahanan) menangkap Tan Malaka/Persatuan
Perjuangan termasuk Mayjen Sudarsono.
Meski
tuduhan kudeta tidak terbukti di Mahkamah Agung Militer, dan Jenderal
Sudirman ikut bersaksi. Tidak adanya pembelaan Sudirman kepada Tan
Malaka dan kawan-kawan merupakan tanda tanya. Namun, ini tidak dapat
ditafsirkan Sudirman meninggalkan teman-temannya. Kemungkinan, Sudirman
tunduk kepada sumpah prajurit, patuh kepada Panglima Tertinggi APRI
Soekarno dan pengaruh intelektual Hatta.
Tak sekeji itu
Saya
tidak percaya uraian Sabam bahwa karena pengumuman Darurat Perang
Panglima Besar Sudirman, maka Surachman dan Sukotjo mengeksekusi Tan
Malaka (21 Februari 1949). Sudirman tidak sekeji itu. Juga tidak
diyakini, Hatta bagian komplotan itu. Diyakini, yang terjadi adalah
panafsiran berbeda di antara faksi-faksi tentara di lapangan. Juga
penafsiran legalisme Sabam tentang kegiatan Tan Malaka yang menjadikan
dirinya Pemimpin Revolusi Indonesia setelah Soekarno-Hatta ditangkap dan
dibuang ke Sumatera. Dikesankan, Tan Malaka seolah mengesampingkan
peran Pemerintahan Darurat RI (PDRI).
Saya
tidak yakin semua pemimpin pejuang di lapangan tahu telah dibentuk PDRI
begitu Soekarno-Hatta ditangkap. Adalah masuk akal jika inisiatif Tan
Malaka mengambil alih pimpinan (jika Sabam benar) untuk menghindari
kekosongan kekuasaan berdasar Testamen Politik Soekarno, Oktober 1945
(”…jika saya tiada berdaya lagi, saya akan menyerahkan pimpinan revolusi
kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan
Malaka….”), tindakan Tan Malaka sah menurut logika hukum.
Bung
Sabam perlu tahu, TB Simatupang dan dr J Leimena sempat tergugah
mengisi kekosongan kekuasaan itu karena tidak tahu bahwa sudah terbentuk
PDRI di Sumatera. Komunikasi radio RI saat itu amat terbatas.
Catatan
lain adalah pemerintahan Hatta tidak menunjukkan tanggung jawabnya jika
benar itu sebuah eksekusi terhadap Tan Malaka. Tan Malaka bukan hewan,
dia pemimpin dan pejuang mendahului Hatta dan Soekarno. Rezim bahkan
sengaja menutupi kematian Tan Malaka. Ada yang menyebut Tan Malaka
dibunuh di pinggir kali lalu dihanyutkan, dan sebagainya. Hingga kini,
negara tampak tak ingin mengungkap temuan Harry Poeze tentang kuburan
Tan Malaka di Selopanggung, Kediri. Jika negara tidak bertanggung jawab
bukankah itu sebuah pembunuhan?
Setelah
terjadi pembunuhan terhadap Tan Malaka, Hatta memberhentikan Sungkono
sebagai Panglima Divisi Jawa Timur dan Surachmat sebagai Komandan
Brigade karena kesembronoan mengatasi kelompok Tan Malaka. Agaknya,
fakta ini pula yang mendorong Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai
Pahlawan Nasional, 28 Maret 1963.
ZULHASRIL NASIR Penulis Guru Besar UI
0 comments:
Post a Comment